Tradisi tumpengan adalah sebuah ritual penting dalam budaya Jawa dan beberapa daerah lain di Indonesia, khususnya ketika mengekspresikan rasa syukur atas berkah dan rezeki yang telah diterima. Nasi tumpeng, dengan bentuk kerucutnya yang menjulang tinggi dan dikelilingi berbagai lauk pauk, bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga simbol mendalam yang kaya akan makna filosofis dan sejarah. Artikel ini akan mengajak Anda untuk mengenal lebih dekat sejarah tradisi tumpengan dan mengapa hidangan ini selalu hadir dalam berbagai acara syukuran. Sebuah pameran tentang tradisi tumpengan dan kuliner Jawa yang diadakan di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, dan dibuka hari ini, Kamis, 8 Mei 2025, menampilkan berbagai jenis tumpeng dan informasi mengenai sejarah serta makna di baliknya.
Sejarah tradisi tumpengan diperkirakan berakar pada kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat Jawa kuno yang menghormati gunung sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan roh leluhur. Bentuk kerucut nasi tumpeng diyakini melambangkan gunung suci tersebut, tempat bertemunya langit dan bumi. Sajian tumpeng dalam acara syukuran merupakan bentuk persembahan dan ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta atas segala limpahan rahmat dan karunia.
Masuknya agama Hindu dan Buddha ke Jawa kemudian mengadopsi dan mengadaptasi tradisi ini. Bentuk kerucut tumpeng kemudian dikaitkan dengan konsep lingga dan yoni, simbol kesuburan dan kemakmuran. Berbagai lauk pauk yang mengelilingi tumpeng juga memiliki makna simbolis tersendiri, seperti ayam ingkung yang melambangkan kepasrahan diri kepada Tuhan, telur rebus yang melambangkan kesempurnaan hidup, dan sayuran urap yang melambangkan kesuburan dan keberlangsungan hidup.
Setelah Islam masuk ke Jawa, tradisi tumpengan tetap dipertahankan dengan memberikan sentuhan Islami. Acara tumpengan seringkali diisi dengan pembacaan doa dan harapan baik. Makna tumpeng sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan rezeki yang diberikan tetap menjadi esensi utama dari tradisi ini. Hingga kini, tradisi tumpengan masih sangat kuat mengakar dalam masyarakat Jawa dan seringkali menjadi bagian penting dalam berbagai acara syukuran, seperti kelahiran, pernikahan, keberhasilan usaha, hingga peringatan hari-hari penting.
Di Yogyakarta, misalnya, tradisi tumpengan seringkali menjadi bagian tak terpisahkan dari berbagai upacara adat dan perayaan keagamaan. Pada acara Sekaten, misalnya, gunungan yang merupakan bentuk tumpeng raksasa diarak sebagai simbol kemakmuran dan благословение. Keberlangsungan tradisi tumpengan hingga kini menunjukkan betapa kuatnya nilai-nilai budaya dan spiritual yang terkandung di dalamnya, menjadikannya bukan hanya sekadar hidangan, tetapi juga warisan leluhur yang patut dijaga dan dilestarikan.